seragam sekolah harus dihapuskan bagian 2

Bila seragam sekolah dihapus, peserta didik akan belajar perbedaan mulai
dari hal-hal mendasar. Anak didik bebas mempergunakan pakaian sesuai dengan
kondisi perekonomian masing-masing. Anak didik juga akan berbaur dengan
sesamanya bukan karena seragam melainkan oleh kepribadian dan keunikan
masing-masing.

Tidak perlu dicemaskan anak didik dari keluarga mampu memakai pakaian yang
bagus, mewah, dengan mengikuti mode- mode terbaru, sementara anak- anak
miskin memakai pakaian kumal, dan tak bisa berganti- ganti mode. Justru anak
didik dari keluarga mampu akan belajar dari anak-anak yang kurang mampu
untuk bersolider.

Penghapusan seragam sekolah justru meminimalisasi kesenjangan antara peserta
didik yang kaya dan yang miskin. Anak didik yang mampu justru akan belajar
bertoleransi dengan anak didik yang kurang mampu. Wong kenyataan di
masyarakat anak yang mampu rumahnya lebih bagus dibandingkan dengan yang tak
mampu. Kini anak-anak dari keluarga kaya pun sudah diantar dengan mobil ke
sekolah, sementara yang miskin cukup naik bajaj, angkutan kota, bus umum,
dan jalan kaki tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Lagi pula, apakah ada korelasi antara anak didik yang berasal dari golongan
kurang mampu akan minder karena berpakaian lusuh dibandingkan dengan
anak-anak kalangan kaya yang berpakaian bagus? Juga apakah seragam ada
kaitannya dengan prestasi yang diperoleh seseorang? Seragam sekolah dalam
konteks ini hanya dipandang sebagai sarana manifestasi kebersamaan di antara
siswa tanpa membedakan jenjang status sosial. Di negara- negara maju sudah
lama keharusan mengenakan seragam sekolah dihilangkan. Di AS misalnya
seragam diserahkan pada sekolah masing-masing.

Menurut Myers (2002), penghapusan seragam sekolah justru berdampak pada
penciptaan labelling dan pemilahan teman antarsiswa. Hal ini terkait dengan
konsep group reference yang terbentuk karena proses sosialisasi dan perasaan
terikat dengan kelompok tertentu.

Sangat mungkin terjadi perbedaan group reference antara kelompok kelas
ekonomi bawah, menengah, dan atas. Adanya group reference ini akan
memunculkan groupthink. Groupthink adalah mode berpikir di mana orang akan
cenderung mengacu pada kesepakatan kelompoknya. Kesepakatan tersebut akan
dijadikannya acuan dalam berperilaku. Groupthink akan mengarahkan seorang
anggota kelompok tertentu memandang anggota kelompok lain secara kurang
realistis, lebih menyesuaikan pendapat kelompok referensinya. Kesepakatan
yang muncul dalam persahabatan bukan atas dasar pakaian melainkan
tahap-tahap dan tugas perkembangan.

Oleh karena itu, penghapusan seragam sekolah lebih bermakna positifnya bagi
pembentukan kepribadian siswa. Penilaian yang berpendapat bahwa seragam
merupakan cerminan budaya bangsa yang menyukai keseragaman tak menghargai
kebebasan dan membelenggu independensi tak relevan dikemukakan.

Anak-anak digiring ke model pendidikan yang seragam, seperti harus mayoritas
yang menang, harus di lembaga pendidikan tertentu. Penghapusan seragam
sekolah harus disertai dengan penghapusan berbagai bentuk
penyeragaman-penyeragaman dilakukan yang berdampak pada pengenalan peserta
didik terhadap sesama, apalagi kemampuan menghargai perbedaan yang ada dalam
masyarakat berkurang.
Justru peserta didik sedini mungkin diperkenalkan dengan konsep pendidikan
yang menghargai perbedaan, baik dalam segi agama, suku, kebudayaan maupun
adat istiadat. Keragaman peserta didik dipergunakan sebagai ajang belajar
bersama satu dengan yang lain.

Dengan cara demikian, perbedaan agama, bakat, suku, dan kepandaian dalam
lingkup kecil di kelas dipergunakan sebagai ajang belajar memahami
masyarakat secara keseluruhan. Wacana penghapusan seragam tidak perlu
dipolemikkan berkepanjangan. Di samping wacana penghapusan seragam sekolah
masih lebih banyak agenda lain pendidikan yang memerlukan perhatian serius,
seperti pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan aparatur
pendidikan, peningkatan anggaran pendidikan, kurikulum, pembinaan guru,
serta pendidikan murah yang mampu dijangkau semua kalangan.
Pada masa kini, pembicaraan mengenai pendidikan yang mengedepankan perbedaan
(pluralisme) dan perbedaan budaya (multikultural) perlu mendapatkan tempat
yang lebih luas dalam masyarakat. Tema- tema menghargai orang lain sebagai
agama, budaya, suku, perlu mendapat tempat tidak saja karena kita tengah
dalam ancaman pertikaian, konflik, dan perpecahan melainkan kemampuan
menghargai perbedaan justru menjadi perekat yang ampuh menyatukan seluruh
elemen bangsa.

Pendidikan adalah pembentukan manusia Indonesia secara keseluruhan. Karena
itu, pada hakikatnya, membenahi pendidikan hanya dengan menghapuskan pakaian
yang dikenakan dan metode ujian yang dipakai belum menyentuh gunung es
persoalan yang lebih besar.

Fungsi utama pendidikan, bukanlah hanya terbatas pada learning to know
(belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat
berbuat dan bersikap), dan learning to be (belajar untuk menjadi), tetapi
lebih dari itu, yakni learning to live together (belajar untuk dapat hidup
bersama).
Artinya, pendidikan seharusnya mengajarkan kepada setiap anggota masyarakat
untuk menghargai kemajemukan dan membekali mereka dengan kemampuan untuk
hidup rukun sebagai manusia. Sekolah mempunyai peran besar membentuk
karakter individu dan kepribadian peserta didik.
Gagasan Menteri Pendidikan Nasional mengenai penghapusan seragam sekolah
justru perlu didukung.

Paulus Mujiran Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata
(YKKS)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "seragam sekolah harus dihapuskan bagian 2"

Posting Komentar